10 Mar 2016

Namanya juga anak kecil, sikap kedewasaan belum tertanam pada benaknya, adanya sikap egoisme, setiap apa yang ia mau ya harus ia peroleh apapun caranya.
dia ni bersaudara satunya azam satunya lagi danis, kalau yang satu gak ada di kangenin dicari-cari, begitu ada berkelahi terus, namanya anak kecil di mau di apa-apain juga tetep anak kecil yang maunya hanya di sayang, didekap dengan hanngat dan yang pasti butuh contoh atau figur dari orang tuanya




e,,,, yang kecil si bontot Khanza juga gak mau kalah, biarpun umur masih setahun, kecil-kecil caberawit


14 May 2015

Ushul Fiqh dan Tipologi Penelitian Hukum Islam

Ushul Fiqh dan Tipologi Penelitian Hukum Islam
A.    Pendahuluan
Kita yang terlahir sebagai makhluk sosial yang mana tidak dapat hidup sendiri pastilah selalu mengalami interaksi antara satu sama lain. Didalam interaksi inilah kita sering mengalami ketidak sesuain atau gap yang pada akhirnya timbul perselisihan yang membutuhkan sebuah penyelesaian. Apalagi kita hidup di Negara hukum pastilah didalamnya kita sering kali menjumpai peraturan – peraturan yang mengatur pergaulan hidup bermasyarakat.
Seperti halnya Indonesia yaitu Negara yang berdasarkan hukum. Hukum disini akan berlaku kalau didukung oleh tiga aspek; yaitu pertama aspek lembaga pelaksana hukum yang dapat diandalkan, kedua aspek peraturan hukum yang jelas, dan ketiga aspek kesadaran hukum oleh masyarakat. Disini untuk suksesnya pelaksanaan hukum Islam yang sangat dibutuhkan sekarang adalah faktor yang ketiga, yaitu kesadaran hukum yang tinggi dari masyarakat muslim. Tanpa ini, hukum Islam rasanya sulit untuk ditegakkan ditengah – tengah masyarakat.
Sejak periode awal sejarah perkembangan Islam, perilaku kehidupan kaum muslim dalam keseluruhan aspeknya telah diatur oleh hukum Islam. Hukum Islam adalah representasi pemikiran Islam, manifestasi yang paling khas dari pandangan hidup Islam, intisari dari Islam itu sendiri. Sehingga seorang sarjana barat, Joseph scacht sampai pada suatu kesimpulan;” bahwa tidak mungkin untuk memahami Islam tanpa memahami hukum Islam”.[1]
Sebelum hukum Islam tersebut dapat dipahami pastinya terlebih dahulu telah digali dan dirumuskan sebuah produk hukum. Didalam menggali dan merumuskan produk hukum tersebut terdapat berbagai bentuk dan model sehingga menghasilkan sebuah produk hukum yang nantinya diterapkan dalam kehidupan masyarakat muslim, maka dari itu disini penulis akan mencoba menguraikan tentang bagaimana bentuk – bentuk penelitian hukum tersebut yang telah menghasilkan sebuah produk hukum yang mengatur kehidupan masyarakat muslim selama ini

B.     Ushul Fiqh
Dalam perjalanan sejarah ilmu ini, ar-Risalah karya asy-Syafi’i dianggap buku rintisan pertama tentang ilmu ini. Ar-Risalah yang penulisannya bercorak teologi-deduktif itu kemudian diikuti oleh para ahli Ushul madzhab mutakallimun (Syafi’iyah, Malikiyah, Hanabilah, dan Mu’tazilah). Sementara itu ulama Hanafiyah memiliki cara penulisan tersendiri yang bercorak induktif-analitis. Baik ar-Risalah, buku-buku Ushul madhzhab mutakallimun, maupun madzhab Hanafiyah memiliki kesamaan paradigma, yaitu paradigma literalistic dalam arti begitu dominannya pembahasan teks, dalam hal ini teks berbahasa Arab, baik dari segi tatabahasa maupun sintaksisnya dan mengabaikan pembahasan tentang maksud dasar dari wahyu yang ada dibalik teks literal. Paradigma ini berlangsung selama kurang lebih lima abad (dari abad ke 2H sampai abad ke-7H) dan baru mengalami perbaikan dengan munculnya asy-Syatibi (w. 790/1388) pada abad ke 8H yang menambahkan teori maqashid asy-syari’ah yang mengacu pada maksud Allah yang paling dasar sebagai pembuat hukum (syari’, lawgiver).[2] Dengan demikian, ilmu Ushul Fiqih tidak lagi hanya terpaku pada literalisme teks. Kehadiran asy-Syatibi sama sekali tidak menghapus paradigma literal, tapi hanya ingin lebih melengkapinya agar ilmu ini dapat lebih sempurna memahami perintah Allah. Dengan demikian, dalam perspektif filsafat ilmu, asy-Syatibi sebenarnya tidak melakukan apa yang menurut Thomas Kuhn disebut dengan pergeseran paradigma (paradigm shift), tapi lebih hanya melengkapi paradigma lama saja, agar tidak terlalu literalistic. Asy-Syatibi dalam perspektif Kuhn, sesungguhnya tidak melakukan perubahan revolusioner pada bangunan ilmu Ushul Fiqh.[3]
Enam abad kemudian, sumbangan asy-Syatibi pada abad ke-8H/ 14M itu, direvitalisasikan oleh para pembaharu Ushul Fiqh di dunia modern, seperti Muhammad Abduh (w. 1905), Rasyid Ridha (w. 1935), Abdul Wahhab Khallaf (w. 1956). Karena tidak menawarkan teori baru kecuali merevitalisasi prinsip mashlahah yang ditawarkan asy-Syatibi melalui teori maqashidnya itu, maka Wael B. Hallaq mengkategorikan para pembaru penganut aliran unilitarianisme.[4]
Sementara itu, pertanyaan tentang bagaimanakah teks suci dapat dipahami dan kemudian dijalankan dalam konteks dunia modern yang sudah barang tentu tidak lagi sama dengan konteks zaman Nabi, hal ini masih menjadi agenda besar bagi umat Islam dewasa ini. Pertanyaan ini menurut sebagian pakar seperti Muhammad Iqbal, Mahmud Muhammad Taha, Abdullahi Ahmed an-Naim, Fazlur Rahman, dan Muhammad Syahrur sama sekali tidak dapat diselesaikan dengan berpijak pada prinsip mashlahah klasik di atas. Bahkan mereka beranggapan bahwa prinsip mashlahah tidak lagi memadai untuk membuat hukum Islam mampu hidup di dunia modern. Dengan mengambil sample tiga orang pemikir (Asymawi, Fazlur Rahman, dan Syahrur), Hallaq menamakan kelompok ini dengan aliran liberalisme keagamaan (religious liberalism),[5] karena coraknya yang liberal dan cenderung membuang teori-teori Ushul Fiqh lama. Menurut Hallaq upaya pembaharuan di bidang Ushul dari kelompok kedua ini dianggapnya lebih menjanjikan dan lebi persuasive. Kelompok kedua ini dalam rangka membangun metodologinya yang ingin menghubungkan antara teks suci dan realitas dunia modern lebih berpijak pada upaya melewati makna ekplisit teks untuk menangkap jiwa dan maksud luas dari teks.[6]
Sedangkan definisi Ushul fiqh sebagai suatu bidang ilmu yang berdiri sendiri mempunyai pengertian sebagai berikut: pertama, terminology ushul fiqh yang dikemukakan oleh ulama Syafi’iyyah, yaitu “mengetahui dalil-dalil fiqh secara global, cara penggunaan dalil-dalil tersebut, dan mengetahui keadaan orang yang menggunakannya”. Kedua, terminology ushul fiqh yang dikemukakan oleh jumhur ulama ushul ( Hanafiah, Malikiah, dan Hanabilah ), yaitu “mengetahui kaidah-kaidah umum yang dapat digunakan untuk mengistinbatkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah melalui dalil - dalilnya yang terperinci”.[7]
Jumhur ulama sepakat bahwa obyek kajian ilmu ushul fiqh adalah kaidah - kaidah atau metode istinbat hukum. Kaidah - kaidah itu biasanya disebut dengan dalil-dalil syara’ yang umum ( al-adillah al-syar’iyyah al-kulliyyah ). Kemudian yang termasuk al-adillah al-syar’iyyah al-kulliyyah diantaranya adalah: kaidah-kaidah bahasa yang dijadikan petunjuk oleh ahli fiqh untuk menetapkan hukum-hukum syara’ dari nash, kaidah-kaidah qiyas dan kehujjahannya, batasan-batasan umum, perintah (amr) dan indikatornya, kaidah-kaidah larangan (nahy), kaidah mutlak, muqayyad dan umum. Jadi dengan kata lain, obyek pembahasan ushul fiqh bermuara pada hukum syara’ (al-hukm al-syar’i) ditinjau dari hakekat, kriteria, dan macam-macamnya, pembuat hukum (al-hakm) dari segi dalil dan perintahnya, orang yang dibebani hukum (al-mahkum ‘alayh) dan cara berijtihadnya.[8] Al-Ghazali memerincinya menjadi empat hal utama: Pertama, buah ilmu ushul fiqh ini (al-tsamrah) yang meliputi hukum-hukum dan yang berkaitan dengannya. Kedua, pemberi buah ( al-mutsmirah ) yang meliputi dalil - dalil umum, seperti: al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’, dan qiyas. Ketiga, metode pengambilan buah ( thuruq al-ististsmar ) yang meliputi metode kebahasaan dan metode kemaknaan. Keempat, pengambil buah ( al-mustatsmir ) yang meliputi criteria orang yang berhak disebut mujtahid.[9]
Dengan demikian jelas bahwa yang digunakan dalam ushul fiqh adalah epistemology bayani. Artinya penggalian pengetahuan - pengetahuan ushul fiqh bersumber pada otoritas teks al-Qur’an dan al-Hadits. Paling tidak, ada dua cara bagaimana ushul fiqh mendapatkan pengetahuan dari teks; pertama, pengetahuan yang didasarkan pada teks zhahir syara’ (zhahir alfazh al-syari’ah). Kecenderungan tekstualitas ini terjadi sebelum masa ibn Rusyd, atau berawal pada masa al-Syafi’i, dan mencapai puncaknya pada masa Ibn Hazm al-Zhahiri. Bagi aliran tekstualitas murni ini, seorang mujtahid dalam beristinbat maupun istidlal hukum harus berpegang pada dhahirnya teks. Kedua, pengetahuan yang didasarkan pada maksud teks syara’ ( maqasid alfazh al-syariah ). Artinya ketika makna dari teks dhahir tidak mampu menjawab permasalahan, baru kemudian digunakan maksud teks syari’ah. Kecenderungan ini dimulai pada masa Ibn Rusyd sampai al-Syatibi.[10]
Selanjutnya, berkaitan dengan ilmu ushul fiqh, maka aksiologi atau fungsinya adalah untuk membimbing manusia dalam menangkap maksud Tuhan secara benar. Artinya dengan mempelajari kaidah dan teori usul ( al-qawa’id al-ushuliyah ), seseorang dapat menangkap makna yang terkandung dalam teks-teks al-Qur’an dan al-Sunnah, sehingga selaras dengan yang dikehendaki oleh Tuhan.
Sedangkan perbedaan ushul Fiqih dengan fiqih, bahwa usul fiqih merupakan timbangan atau ketentuan untuk istinbat hukum dan objeknya selalu dalil hukum, sementara objek fiqih adalah perbuatan mukallaf yang diberi status hukumnya. Walaupun ada titik kesamaan, yaitu keduanya merujuk pada dalil, namun konsentrasinya berbeda, yaitu ushul fiqh memandang dalil dari sisi cara penunjukan atas suatu ketentuan hukum, sedangkan fiqih memandang dalil hanya sebagai rujukannya.[11]

C.    Hukum Islam dalam Tinjauan Ilmu: Definisi dan Obyek Kajian.
Sebelum menjelaskan obyek kajian ilmu syariah (ilmu hukum Islam), perlu dijelaskan batasan pengertian syariah itu sendiri. Syari’ah sendiri didefinisikan mencakup baik tindak tanduk hati maupun tindakan-tindakan lahiriah yang nyata terlihat. Sesungguhnya ini adalah panduan perintah-perintah Tuhan kepada manusia, yaitu perintah-perintah yang jelas terutama bersifat moral. Jadi Syari’ah bukan sekedar peraturan tata cara perilaku formal yang khusus dan utama, tetapi ia sejalan dan sama luasnya (coterminous) dengan ”kebaikan” itu sendiri. Tetapi anehnya sedikit sekali usaha yang dilakukan untuk memikirkan dan merumuskan kembali batang tubuh fiqh yang utuh, sebagaimana dulu pernah dilakukan oleh tokoh-tokoh keempat aliran hukum. Alasan utama untuk ini tampaknya adalah bahwa hukum ini dipandang sebagai sesuatu yang semestinya muncul dari prinsip-prinsip Qur’an dan Sunnah dan selanjutnya disucikan oleh ijma’. Padahal ijma’, seperti telah kami nyatakan telah dianggap final, pintu ijtihad (pemikiran orisinal) telah ditutup, dan akibatnya tak seorang pemikirpun, sehebat apapun dia, yang berani mencoba-coba untuk membukanya.[12]
Hukum Islam mencakup berbagai dimensi. Dimensi abstrak, dalam wujud segala perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya; dan dimensi konkret, dalam wujud perilaku mempola yang bersifat ajeg di kalangan orang Islam sebagai upaya untuk melaksanakan titah Allah dan Rasul-Nya itu. Lebih konkret lagi, dalam wujud perilaku manusia (amaliah), baik individual maupun kolektif. Hukum Islam juga mencakup substansi yang terinternalisasi ke dalam berbagai pranata sosial. [13]
Manakala membicarakan hukum Islam, apakah yang dimaksud syari’at Islam atau fiqh Islam? Syari’at Islam adalah hukum Islam yang berlaku abadi sepanjang masa. Sedangkan fiqh adalah perumusan konkret syari’at Islam untuk diterapkan pada suatu kasus tertentu di suatu tempat dan di suatu masa. Keduanya dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan.
Fiqh juga diidentifikasi sebagai salah satu dimensi hukum Islam, yakni produk penalaran fuqaha terhadap syari’ah, yang secara empiris dijadikan hukum terapan oleh Muslim di berbagai kawasan. Hukum Islam mempunyai fungsi yang ganda, yaitu fungsi syari’ah dan fungsi fiqh. Syari’ah merupakan fungsi kelembagaan yang diperintahkan Allah untuk dipatuhi sepenuhnya, atau saripati petunjuk Allah untuk perseorangan dalam mengatur hubungannya dengan Allah, sesama Muslim, sesama manusia, dan dengan semua makhluk di dunia ini. Sedangkan fiqh merupakan produk daya pikir manusia. Fiqh merupakan usaha manusia yang dengan daya intelektualnya mencoba menafsirkan penerapan prinsip-prinsip syari’ah secara sistematis.[14]
Al-Gazzali (w. 505) dalam pendahuluan al-Mustasfa menjelaskan sisi yang menjadi perhatian ahli hukum Islam untuk dikaji dari keseluruhan obyek kajian ilmu - ilmu keagamaan Islam dengan mengatakan “Ahli hukum mengambil satu sisi tertentu, yaitu tingkah laku subyek hukum, yang diselidikinya dalam kaitan dengan dictum hukum.”
Menurut pernyataan al Ghazali ini obyek kajian ilmu syari’ah (ilmu hukum Islam) adalah tingkah laku dalam kaitannya dengan norma hukum. Konsepsi ini berbeda dengan pengertian yang lazim dalam hukum Islam, yaitu bahwa ilmu hukum Islam ( ilmu syari’ah ) mengkaji hukum-hukum ( norma-norma ) syariah yang disimpulkan dari dalil - dalilnya berupa teks-teks al-Qur’an dan sunnah serta dalil - dalil subsider lainnya. Pertanyaannya di sini: apakah sesungguhnya ilmu syariah mengkaji norma - norma atau mengkaji tingkah laku? Dengan kata lain apakah ilmu syari’ah adalah suatu ilmu normatif murni atau suatu ilmu perilaku? Dalam kenyataan perkembangan ilmu syari’ah sendiri pendefinisian ilmu hukum Islam sebagai ilmu yang menyelidiki norma-norma, dan ditunjang oleh suatu postulat yang berasal dari system teologi tertentu bahwa hukum tidak dapat ditemukan di luar teks-teks, telah membawa hukum Islam menjadi suatu ilmu teks, “ilmu kalam” yaitu ilmu yang mengkaji kalam ilahi yang merupakan khitab asy-syar’. Analisis hukum karena itu berarti analisis teks. Bagi pengkaji modern, pernyataan al-Ghazali mungkin lebih menarik karena memberi peluang kepada pendekatan empiris dalam kajian hukum bukan semata analisis teks ( khitab asy-syar’i ) tetapi juga berarti analisis tingkah laku.[15]
Dengan berdasarkan konsep al-Ghazali ini dapat dikembangkan suatu metode kajian hukum Islam yang disebut metode sui generis-kum-empiris.

D.    Tipologi Penelitian Hukum Islam
Meskipun secara umum ushul fikih merupakan metode pengkajian Islam pada umumnya dan dalam sejarah kebudayaan Islam inilah satu-satunya metode khas Islam yang berkembang, namun dalam pengertian khusus, ushul fikih adalah suatu metode penemuan hukum syari’ah. Sebagai metode penemuan hukum, ushul fikih merupakan bagian dari metode penelitian hukum Islam secara umum.
Dengan meminjam kerangka penelitian ilmu hukum secara umum, serta diilhami oleh definisi al Ghazali mengenai obyek ilmu syari’ah dan tesisnya tentang pemaduan antara wahyu dan rakyu, penelitian hukum Islam secara garis besar kiranya dapat dibedakan menjadi dua bagian;
a.    Penelitian hukum Islam deskriptif (wasfi)
b.    Penelitian hukum Islam preskriptif/ normatif (mi’yari).
Penelitian hukum Islam deskriptif tidak mempertanyakan apa hukumnya, dengan kata lain tidak mencari norma hukum terbaik yang harus dipegangi untuk diterapkan kepada suatu kasus, melainkan mendeskripsikan fenomena hukum dengan mencari hubungan variabel – variabel hukum dan variabel-variabel non hukum. Variabel - variabel hukum dalam penelitian deskriptif ini dapat dilihat baik sebagai variabel independen maupun sebagai variabel dependen. Penelitian tentang apa pengaruh penerapan undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan terhadap menurunnya tingkat perceraian, misalnya, merupakan penelitian deskriptif dengan melihat hukum sebagai variabel independen. Sebaliknya penelitian mengenai pengaruah adat masyarakat terhadap rumusan pasal-pasal tertentu dalam kompilasi hukum Islam di Indonesia, misalnya, merupakan penelitian hukum Islam deskriptif dengan menempatkan hukum Islam sebagai variabel dependen. Pendekatan dalam penelitian deskriptif ini bisa berupa antropologi, sosiologis, historis, politik dan semacam itu.
Penelitian hukum Islam preskriptif bertujuan menggali norma-norma hukum Islam dalam tataran das sollen, yaitu norma-norma yang dipandang ideal untuk dapat mengatur tingkah laku manusia dan menata kehidupan bermasyarakat yang baik. Ushul fikih termasuk ke dalam bidang penelitian hukum Islam preskriptif, yang bertujuan menemukan norma - norma syari’ah untuk merespon berbagai permasalahan dari sudut pandang normatif.[16]
Dalam pandangan yang tidak tepat dari banyak orang Muslim, dengan hukum Islam biasanya hanya dimaksudkan kumpulan peraturan konkret berupa halal, haram, makruh, mubah, atau sunnah saja. Bila disebut hukum Islam yang terbayang oleh mereka hanyalah kategori - kategori tersebut. Pengertian seperti ini jelas tidak tepat, Selain terdiri atas kategori penilaian seperti halal atau haram, hukum Islam juga terdiri atas kategori - kategori relasional. Lebih penting lagi adalah bahwa hukum Islam sesungguhnya terdiri atas norma - norma berjenjang ( berlapis ). Di zaman lampau pelapisan itu terdiri atas dua tingkat norma: peraturan hukum konkret (al-ahkam al-far’iyyah), dan asas - asas umum (al-usul al-kulliyyah). Asas - asas umum itu dalam pandangan para ahli hukum Islam klasik mencakup kategori yang luas sehingga meliputi pula nilai - nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah) hukum Islam. Oleh karena itu untuk praktisnya norma - norma tersebut dibagi saja ke dalam tiga tingkatan, yaitu (1) peraturan konkret, (2) asas-asas umum, dan (3) nilai-nilai dasar.
Atas dasar pelapisan norma-norma hukum Islam ini, maka penelitian normatif hukum Islam dapat dibedakan menjadi (i) penelitian filosofis, yaitu kajian mengenai nlai-nilai dasar hukum Islam, (ii) penelitian doctrinal, yaitu kajian untuk menemukan doktrin-doktrin atau asas-asas umum hukum Islam, dan (iii) penelitian klinis, yang disebut juga sebagai penemuan hukum syar’i untuk menemukan hukum in concreto guna menjawab suatu kasus tertentu. Secara keseluruhan skema penelitian hukum Islam dapat dilihat dalam ragaan berikut:

Penelitian normatif hukum Islam dalam metodologi klasik umumnya bersifat sui generis, dalam arti penyelidikan mengenai norma-norma hukum Islam lebih banyak dilihat dari segi ajaran normatif dan karenanya terfokus pada teks-teks (al-Qur’an dan hadis). Berdasarkan tesis al-Gazzali tentang pemaduan wahyu dan akal (yang meliputi rasio dan pengalaman) manusia dan pandangannya bahwa ilmu hukum Islam menyelidiki tingkah laku, kiranya penelitian normatif hukum Islam ini dapat dikembangkan tidak hanya melalui teks-teks saja (bersifat sui generis), tetapi juga dapat dipadukan dengan pengalaman sehingga menjadi penelitian sui generis-kum-empiris, yang berarti norma-norma hukum tidak hanya dicari dalam teks-teks syari’ah belaka, tetapi juga di dalam kehidupan manusia dan perilaku masyarakat itu sendiri.[17]
Pemaduan ini dilakukan dengan membuat hubungan dialektis antara teks – teks syari’ah dan pengalaman eksistensial manusia, dimana teks – teks itu menjadi sumber yang memberikan pengarahan tingkah laku dalam kehidupan. Akan tetapi pengalaman eksistensial kehidupan dalam sutu lokasi sosial tertentu juga memberi wawasan bagaimana teks – teks syari’ah itu harus difahami dan ditafsirkan. Apabila hukum – hukum yang diperoleh dari kenyataan masyarakat berbeda dengan ketentuan teks, maka kenyataan direkontruksi dan dihadapkan kepada yang ideal dalam suatu hubungan dialektis.
Sebagai cotoh paling sederhana adalah pasal 171 huruf h dari KHI (kompilasi hukum Islam) di Indonesia yang merupakan hasil pemaduan kreatif antara norma tekstual yang melarang pengangkatan anak dengan kenyataan empiris masyarakat dimana banyak kasus pengangkatan anak. Pasal tersebut merumuskan anak angkat sbagai “anak yang dalam pemeliharaan hidupnya sehari – hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan kepurusan pengadilan.” Begitu pula pasal 185 dan 209 KHI tidak lain dari suatu sintesis antara ketentuan normatif tekstual fiqh dan kenyataan masyarakat.


E.     Kesimpulan
Usul fikih merupakan metode pengkajian Islam pada umumnya dan dalam sejarah kebudayaan Islam inilah satu-satunya metode khas Islam yang berkembang, namun dalam pengertian khusus, usul fikih adalah suatu metode penemuan hukum syari’ah. Sebagai metode penemuan hukum, ushul fikih merupakan bagian dari metode penelitian hukum Islam secara umum. Penelitian hukum Islam secara keseluruhan dibedakan ke dalam dua bidang besar, yaitu penelitian hukum Islam deskriptif dan penelitian hukum Islam preskriptif. Penelitian hukum Islam deskriptif meneropong hukum Islam sebagai suatu fenomena sosial yang berinteraksi dengan gejala-gejala sosial lainnya.
Dalam penelitian hukum Islam deskriptif  pendekatan yang digunakan menggunakan pendekatan serta ilmu-ilmu sosial seperti halnya historis, sosiologis, antropologis, politik ekonomi, dan pendekatan - pendekatan dan ilmu sosial lainnya
Penelitian hukum Islam preskriptif bertujuan menggali norma-norma hukum Islam dalam tataran das sollen, yaitu norma-norma yang dipandang ideal untuk dapat mengatur tingkah laku manusia dan menata kehidupan bermasyarakat yang lebih baik. Usul fikih termasuk ke dalam bidang penelitian hukum Islam preskriptif, yang bertujuan menemukan norma-norma syari’ah untuk merespon berbagai permasalahan dari sudut pandang normatif. Didalam penelitian hukum Islm preskriptif inilah ditentukan hukum benar salah, sedangkan ushul fiqih sebagai alat penelitian dalam penelitian hukum preskriptif ini terletak pada penelitian norma-norma in concreto.
Pola dikotomis, khususnya pada aspek orientasi, paradigma, dan tipologi penelitian, tampak sih sangat kental. Pada aspek orientasi, misalnya, kecenderungan normatif-deduktif tampak lebih mendominasi keseluruhan studi ketimbang analisis yang bersifat empiris-induktif. Alasan yang seringkali dikemukakan bahwa hukum Islam adalah ilmu normatif yang steril dari berbagai persoalan empiris-sosiologis. Padahal eksistensi hukum Islam juga tidak terlepas dari ruang waktu di mana dan kapan produk hukumnya dilahirkan (Tagayyur al-Ahkam bi Tagayyur al-Azminah wa al-Amkinah).



Daftar Bibiografi

Amin Abdullah, Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul Fiqh Dan Dampaknya Pada Fiqh Kontemporer, dalam Ainurrofiq (ed.), Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontempore, cet. 1 (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002).
Cik Hasan Bisri, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam Dan Pranata Sosial, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004).
Fazlur Rahman, Islam, Alih bahasa: Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1994)
Joseph scacht, penagantar hukum Islam,(Jakarta: Islamika, 2003).
Muhammad Roy, Ushul Fiqh Madzhab Aristoteles: Pelacakan Logika Aristoteles dalam Qiyas Ushul Fiqih,cet. 1 (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004).
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 1999).
Syamsul Anwar, Membangun Good Governance Dalam Penyelenggaraan BirokrasiPublik di Indonesia: Tinjauan dari Perspektif Syari’ah dengan Pendekatan ilmu Usul Fikih, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Usul Fikih, (Yogyakarta: Tidak diterbitkan, 2005).
…………………, Metodologi Hukum Islam; kumpulan makalah tidak diterbitkan.
Wael B. Hallaq, A. History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Ushul Fiqh, (Cambridge: Cambridge University Press, 1987).







[1] Joseph scacht, penagantar hukum Islam,(Jakarta: Islamika, 2003).hlm.2.
[2] Asy-Syatibi hanya mengembangkan dan mengartikulasikan secara lebih jelas lagi dari gagasan-gagasan al-Gazzali yang sebelumnya telah memberikan sumbangan pokok (1) memperkenalkan dan mempertegas penerapan metode induksi dalam kajian hukum Islam, di mana sebelumnya ijtihad hukum lebih bersifat deduktif; dan (2) mengintrodusir konsep tujuan hukum (maqasid asy-syari’ah) dan salah satu tujuan hukum itu adalah maslahat. Lihat, Syamsul Anwar, Metodologi Hukum Islam, Kumpulan makalah tidak diterbitkan, hlm. 41.
[3] Amin Abdullah, Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul Fiqh Dan Dampaknya Pada Fiqh Kontemporer, dalam Ainurrofiq (ed.), Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontempore, cet. 1 (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002), hlm. 119.
[4] Wael B. Hallaq, A. History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Ushul Fiqh, (Cambridge: Cambridge University Press, 1987).
[5] Wael B. Hallaq, A. History…., hlm.214.
[6] Amin Abdullah, Paradigma Alternatif….., hlm. 121.
[7] Muhammad Roy, Ushul Fiqh Madzhab Aristoteles: Pelacakan Logika Aristoteles dalam Qiyas Ushul Fiqih,cet. 1 (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), hlm. 20-21.
[8] Muhammad Roy, Ushul Fiqh Madzhab Aristoteles,. hlm. 22-23.
[9] Muhammad Roy, Ushul Fiqh Madzhab Aristoteles,. hlm. 23
[10] Muhammad Roy, Ushul Fiqh Madzhab Aristoteles,. hlm. 27.
[11] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm.24.
[12] Fazlur Rahman, Islam, Alih bahasa: Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1994), hlm. 165.
[13] Cik Hasan Bisri, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam Dan Pranata Sosial, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 38.
[14] Cik Hasan Bisri, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam,.. hlm. 40-41.  
[15] Syamsul Anwar, Metodologi Hukum Islam, kumpulan makalah tidak diterbitkan…., hlm. 47.
[16] Syamsul Anwar, Membangun Good Governance Dalam Penyelenggaraan BirokrasiPublik di Indonesia: Tinjauan dari Perspektif Syari’ah dengan Pendekatan ilmu Usul Fikih, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Usul Fikih, (Yogyakarta: Tidak diterbitkan, 2005), hlm. 2-3.  
[17] Syamsul Anwar, Metodologi…., hlm. 51.